SINOPSIS
Bagi Franda, partner kerjanya yang sekarang adalah partner yang nyaman untuk diajak kerja dan ngobrol. Sudah lama bekerja sebagai pasangan juru kamera dan presenter liputan olah raga, mereka sudah sangat dekat, bahkan Franda berani mengenakan pakaian minim dan sedikit terbuka saat bekerja dengannya.
Siang ini panas, gua berdiri di stadion, di tribun paling belakang, sedang
menyiapkan kamera diantara bangku – bangku kosong. Hari ini gua dan Franda
bakal ngambil gambar di stadion ini untuk segmen sepakbola untuk siaran lusa.
Ini stadion terbuka dan rasanya gerah banget.
Franda datang, sudah siap dengan make up yang ia pakaikan sendiri,
mengenakan jaket merah dan celana pendek sporty menyesuaikan dengan tema berita
yang kami bawakan.
Akhirnya kamera siap dan kami langsung mengambil gambar sesuai script yang
kami buat.
Seperti biasa Franda kelihatan cantik di depan kamera. Mata gua ini
sepertinya beruntung banget bisa ngeliat dia dari dekat, sendirian lewat
kamera. Hari itu lebih panas dari biasanya, Franda mulai keringatan. Gua kasih
cut karena gua lihat dia kepanasan banget.
“Istirahat sebentar ya bang” kata Franda sambil mengambil air mineral
botol. Entah kerasukan apa gua hari itu, enggak biasanya gua tertarik dengan
Franda secara seksual. Gua liatin dia minum lewat kamera. Timingnya pas sekali,
saat gua menyorot kebagian dadanya, dia buka resletingnya dan memamerkan tank
top hijau ketat. Saat itu gua enggak bisa pindah menyoroti tubuhnya.
“Duduk bang, jangan berdiri aja. Capek kan?” gua sama Franda udah kerja
lama, jadi udah deket karena selalu syuting berdua sebagai tim; gua cameraman
dan dia presenter-nya. Baru aja gua berpikir yang enggak – enggak. Gua berpikir
mungkin kalau gua minta ke Franda, mungkin dia mau barang sekali nenangin
batang kemaluan gua yang udah tegang sejak tadi.
“Nda?” kata gua memulai.
“Ya bang?”
“Gua pengen ngomong sesuatu.”
“Ya, ngomong aja” kami bertatapan, ngeliat dia natap gua bikin birahi gua
semakin menjadi.
“Lo hari ini pakai celana kelewat pendek deh.”
“Lah, kan udah biasa gua ambil gambar pakai celana sport begini.” Saat itu
gua liat dia ngelirik ke bagian selangkangan gua dan matanya kelihatan kaget.
“Astaga bang. Lo enggak kepikiran yang aneh – aneh kan?”
Suasana diantara kami jadi aneh. Sepertinya dia agak ga enak ngeliat gua
“tegang” kayak gini. “Lo hari ini kenapa sih bang?” kata dia, demi hubungan
kerja gua dengan dia, Franda kelihatan berusaha mengerti.
“Lo sama gua kan udah kerja lama, udah kenal lama. Gua enggak tahu kenapa
dengan gua hari ini. Tapi Nda, tolong, sekali ini aja” dari raut wajahnya yang
semakin ga enak, dia sepertinya tahu apa yang gua minta.
“L-lo mau gua ngapain?” Franda bertanya sekali lagi, kelihatan enggak
percaya dengan jawaban yang ia duga di kepalanya. “Jangan bang, kita sudah
deket kayak saudara. Jangan dirusak.”
Kecewa banget gua ngedenger jawaban dia. Setelah gua pikir, hubungan gua
dengan dia juga sudah rusak setelah gua minta dia ngelayanin gua barusan.
Pikiran gua kosong dan tanpa sadar gua ngambil pisau lipat yang gua simpan di
kantong belakang buat jaga diri dan gua todongin ke wajahnya.
“B-bang?!” dia kelihatan ketakutan. “Abang apa – apaan?” dia mulai mundur
sedikit demi sedikit.
“Berdiri!” paksa gua. Franda berdiri dan langsung gua tarik celananya.
“B-baik bang. Franda enggak bakal ngelawan, tapi tolong jangan pakai pisau”
karena dia mulai menurut setelah gua ancam, gua turutin dan buang tuh pisau
dekat kamera yang sebenarnya masih merekam.
Badannya gua buat menghadap ke tembok dengan kaki mengangkang dan tangan
gua langsung melakukan tugasnya mengeluarkan penis gua yang sudah enggak tahan.
Tanpa basa – basi daging panjang ini menusuk ke dalam selangkangan Franda.
Dia teriak, sepertinya kesakitan. Terang aja, dinding memeknya masih kering
dan langsung gua sodok.
“Bang, pelan! Tolong jangan kasar” katanya kelihatan menahan sakit.
Tangan gua menggeliat memainkan bulu kemaluannya dan kemudian naik menarik
resleting jaketnya. Berlanjut, jari – jari tangan kanan gua berjalan di atas
perutnya yang datar kemudian menyusup ke dalam tank top hijaunya. Dengan tangan
terbuka gua menerima kenyalnya payudara Franda di telapak tangan gua.
“P-pokoknya ahhh Cuma sekali ini aja ya –bbang. Jangan bi-bilang siapa –
siapa... AHHH.”
“Tergantung Nda. Yang namanya birahi enggak bisa ditebak. Lagian kita main
begini sudah direkam pake kamera gua, kalau lo mau tahu.”
“A-APA BANG!?” muka kagetnya enak sekali dipandang.
“Sini” gua tarik dia, dengan keadaan masih gua perkosa. “Lihat ke kamera”
tangan gua mengunci tangannya dan gua berhasil membuat kamera merekam tubuh
bagian bawahnya yang sedang gua acak – acak, polos tanpa celana.
“B-berhenti bang ahhh berhenti!” gua lanjut menarik tank top-nya dan
ngebiarin toketnya terekam oleh kamera. Dia berontak, tapi tenaganya enggak
bisa ngalahin tenaga gua.
Gua percepat gerakan gua, tapi Franda kelihatan enggak bisa mengikuti.
Gua memposisikan diri di hadapan kamera dan melepas jaket serta tank top
Franda di hadapan kamera. Tangan gua memaksanya menghadap ke kamera dengan
wajahnya yang merem melek kesakitan.
Ga nyangka gua bisa menyetubuhi cewek cakep yang selama ini Cuma bisa gua
rekam wajahnya. Keringat – keringatnya yang bercucuran yang gua lihat di
punggungnya makin buat hati gua panas karena nafsu.
Tiga puluh menit dan kami belum berganti posisi. Franda sudah kelihatan
enggak kuat dan selangkangan gua masih kuat ngegenjot memeknya untuk dua puluh
menit lagi.
“A-Aaaahhh AHHH ahhhh” dia Cuma bisa mengerang, udah enggak melawan. Jadi
gua gunain saat ini untuk melepas kuncian gua. Franda jatuh ke lantai
tengkurap. Kali ini gua duduk lalu gua seret dia buat duduk di atas pangkuan
gua. Tubuhnya agak berat. Untungnya dia masih agak sadar; dia jadi penurut dan
bantu gua memposisikan penis masuk ke lubang kemaluannya. Mungkin dia pikir
enggak ada gunanya buat ngelawan lagi dan lebih memilih ngelayanin gua supaya
ini cepat berakhir. Jadi dia duduk dipangkuan gua, naik turun. Berat tubuhnya
saat jatuh dan menelan batang kemaluan gua masuk sampai ke ujung lubangnya,
sensasinya sakit namun nikmat dan membuat ketagihan.
Dua puluh menit gua enggak berganti dan gerakan kami berdua semakin tak
terkendali.
Akhirnya kontol gua mulai berdenyut dan akhirnya gua keluarin isinya di
dalam rahimnya. Tubuhnya menggeliat saat merasakan peju panas menempel di
dinding vaginanya.
Franda jatuh tergeletak, kelelahan. “Istirahat tiga puluh menit. Lalu kita
siaran lagi” kata gua sambil berusaha berdiri, tapi Franda enggak menjawab.
Gua pakai lagi baju – baju gua dan mulai memeriksa kamera. Franda lebih
memilih merebahkan dirinya, masih dalam keadaan telanjang, memulihkan diri dan
mengambil nafas. Kelihatan seperti tak punya tenaga lagi.
“Senyum Franda” kata gua saat mengangkat kamera dari tripod-nya dan merekam
dengan detail tubuhnya yang putih, berkeringat; dari kakinya yang gemetaran,
pahanya yang kelihatan sehat, dadanya yang naik turun saat bernafas, putingnya
yang masih keras dan wajahnya yang kehabisan nafas.
Dia menghadap ke kamera dan menuruti perintah gua. Wajahnya cantik
tersenyum seperti merasa puas setelah digagahi olehku. Dia tahu apa yang gua
mau. Dengan senyumannya yang kelihatan sedikit nakal, lengkap sudah rekaman
pribadi gua dengannya hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar